Seringkali muncul perbedaan perilaku keagamaan di antara pemeluk suatu agama yang tinggal di suatu kawasan dengan kawasan lain. Gejala serupa tampak pada perbedaan sikap negeri-negeri Muslim menghadapi perang antara Lebanon-Palestin dan Hizbullah dengan Israel. Demikian pula aksi pemboikotan terhadap produk-produk berbau Israel dan sekutunya, Amerika. Persoalan ini berkaitan dengan kondisi objektif dan pengalaman masing-masing di negeri dan kawasan yang berbeda-beda.
Karena itulah Kitab Suci Al-Quran dan Sunnah Rasul merupakan tonggak penting untuk ditempatkan sebagai referensi bagi setiap perbedaan. Namun demikian, bagaimana Kitab Suci dan Sunnah itu ditafsir, dimaknai, dan dipahami juga bisa berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lain dan antara seorang ulama dengan ulama lainnya. Di sinilah pentingnya sikap keterbukaan dan kesediaan melakukan dialog antara para pihak yang berbeda untuk sekurang-kurangnya membangunkan kesepahaman bahwa mereka berbeda atas alasan-alasan tertentu.
Begitulah tradisi keagamaan pemeluk Islam Indonesia yang cenderung berbeda di dalam banyak hal dibandingkan pemeluk Islam Malaysia atau Singapura, Thailand (Selatan) atau Filipina (Selatan), Afrika, para migran di Amerika dan berbagai belahan Eropah. Kita juga mengenali bahawa tradisi Madinah cenderung beda dari Mekah dan kaum Anshor beda dari kaum Muhajarin. Islam yang satu itu ternyata dalam sejarahnya melahirkan beragam pemahaman dan aliran pemikiran yang kadangkala bisa saling bertentangan dan berkonflik keras, bahkan peperangan di antara penganut satu aliran dengan aliran lain.
Reaksi terhadap fakta sosial tentang perbedaan dan konflik di antara pemeluk Islam yang disebut di atas juga berbeda-beda. Sebagian pemeluk Islam seringkali menuduh pemeluk agama lain sebagai penyebab konflik di antara pemeluk Islam tersebut. Sesekali muncul protes keras terhadap sebuah harian atau media pers atas tuduhan memecah-belah umat Islam. Alasan yang dikemukakan adalah karena harian itu dianggap kurang jernih ketika memberitakan perbedaan sikap dan pemahaman khususnya di antara apa yang dikenal sebagai Islam Moderat dan Islam Radikal yang kebelakangan ini memang marak.
Protes tersebut menarik dicermati karena menjelaskan bagaimana realitas sosial keberagamaan dipahami dan disikapi. Sejarah sosial dan pemikiran Islam sendiri penuh kisah perbedaan sikap dan pemahaman pemeluknya yang kerapkali melahirkan konflik, bahkan peperangan. Perbedaan demikian sudah berlangsung tidak lama sesudah Nabi Muhammad (saw) wafat pada perempat pertama abad ke-7 Masehi.
Sejarah keragaman keberagamaan juga berlangsung di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan. Sarekat Dagang Islam (kemudian SI) yang lahir pada tahun 1911 kemudian pecah menjadi dua. Satu dari pecahan SI itu kemudian mendukung Partai Komunis yang juga banyak didukung kalangan elite seperti Kiai Misbach. Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) yang lahir sesudah itu dikenali pula beraliran modernis dengan corak yang berbeda. Kita juga mengenali Nahdlatul Ulama (NU) yang secara akademis kemudian dikenali beraliran tradisionalis.
Perbedaan pengalaman, latar belakang keluarga, tempat tinggal, pendidikan, guru dan kiai yang diikuti, buku atau kitab yang dibaca, bisa menyebabkan perbedaan paham dan kepemelukan agama. Seseorang yang lahir di pedalaman atau kota Kalimantan, Ambon, Papua, Jombang, Jakarta atau Yogyakarta cenderung memeluk Islam, Kristen, Katolik, Hindu atau Budha, menjadi pengikut NU atau Muhammadiyah, dan beraliran Liberal atau Konservatif.
Fakta sosial di atas berbeda dengan keyakinan teologis tentang kesatu-tunggalan agama yang dipeluk seseorang atau sekelompok orang. Para pemeluk agama meyakini bahwa dengan mentaati ajaran agamanya, manusia akan selamat, aman, tenteram dan hidup makmur di dunia dan akhirat. Karena itu semua pemeluk agama berusaha meyakinkan semua orang supaya memeluk agama yang sama atas dasar rasa kemanusiaan dan kasih-sayang terhadap sesama dan agar mereka terbebas dari penderitaan hidup di dunia dan di akhirat nanti.
Misi kasih-sayang bagi semua manusia, atau rahmatan lil alamin, dari ajaran suatu agama di atas ternyata lebih berlaku bagi kelompoknya sendiri. Fakta demikian juga menunjukkan bahwa praktik keagamaan dari pemeluk suatu agama cenderung bersifat plural, seperti fakta beragam agama. Pluralitas atau keragaman dalam kepemelukan agama dan pemahaman atau praktik keagamaan adalah kenyataan sosial yang muncul seiring dengan kelahiran suatu agama.
Karena itulah Yahudi, Nasrani (Katolik dan Kristen) dan Islam adalah agama samawi yang dikenal bermuara pada tradisi kenabian Ibrahim. Boleh jadi agama seperti Budha, Hindu, Kong Hu Cu, dan agama lokal lainnya, yang tidak disebutkan dalam Injil dan Al Qur’an, adalah agama-agama yang dibawa nabi-nabi Allah tapi yang juga tidak disebut oleh kedua kitab suci itu. Keyakinan atas Tuhan yang sama dan satu itu ternyata melahirkan beragam agama dan sistem keberagamaan berbeda sepanjang sejarah umat manusia.
Dalam bidang fikih, sejarah Islam mengenal empat madzhab (aliran pemahaman) utama; Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafi’i yang masing-masing memiliki pengikut dengan fanatisme tinggi. Di bidang kalam (teologi) kita mengenal dua aliran yang bisa disebut sebagai embrio pemahaman liberal dan konservatif iaitu: Qodariyah dan Jabariyah atau bisa juga disebut Murji’ah. Di Indonesia bisa dianggap sedikit aneh jika seorang pemeluk Islam menganut paham Syi’ah ketika mayoritas pemeluk Islam di Indonesia adalah penganut Sunni yang setia. Tidak demikian dengan masyarakat Iran di mana Sunni hampir tidak mempunyai penganut. Satu kitab Al-Qur’an dengan seorang Nabi dan Rasul ternyata melahirkan banyak paham keagamaan yang bisa bertentangan bahkan saling berperang.
Keyakinan tentang kesatu-tunggalan suatu agama seperti Islam sama sekali tidak bisa menghapuskan fakta adanya beragam pemahaman atau aliran baik di bidang Fikih atau Kalam (teologis). Penganut madzhab yang sama bisa saja menganut aliran ideologi politik yang berbeda seperti yang diperlihatkan oleh perdebatan dalam Sidang BPUKI dan Konstituate. Keyakinan teologis tentang ketunggalan itu tentu tidak ada yang melarang. Yang penting ialah bagaimana kita dengan arif memperlakukan pemahaman dan perilaku keagamaan yang berbeda.
Penelitian Clifford Geertz tahun 1950an di daerah Kediri Jawa Timur Indonesia, juga bisa diduga di tempat lain dan bisa dibagi ke dalam banyak ragam budaya. Laporan Geertz itu menjelaskan tiga ragam budaya Muslim, iaitu: priayi, abangan dan santri. Kaum santri (mereka yang lebih taat menjalankan rukun Islam) sendiri bisa dibedakan ke dalam dua ragam, iaitu: tradisionalis dan modernis. Disebut tradisionalis bukan karena kelompok ini lebih kuno dan disebut modernis bukan karena lebih modern; tapi ianya berkaitan dengan bagaimana kedua kelompok ini memahami sumber ajaran Islam dan mempraktikkannya. Tidak ada tuntutan untuk memilih mana yang lebih benar dari ragam itu, tapi itulah fakta sosial dan budaya yang harus diakui dan diterima secara jernih. Sikap itulah yang mesti dikembangkan ketika muncul ragam baru yang dikenali dengan sebutan Islam Moderat, Islam Progresif, Islam Konservatif, Islam Liberal atau Islam-Islam yang lain.
*****
Artikel ini ditulis oleh Dr. Abdul Munir Mulkhan, Guru Besar UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2000-2005, dan telah disiarkan di Berita Harian pada 4 September 2006, dengan penyeragaman kepada laras Bahasa Melayu dan diberi tajuk ‘Seagama Tetapi Berbeza Tafsiran’.